Rabu, 29 Juli 2009

Nguye Dan Ritus Budaya Mahkota


foto, Sajen yang dipersembahkan saat ngunye
Tradisi Nguye Ungkapan Terimakasih Kepada Pitra


Tradisi Ngunya yang dilaksanakan setiap upacara ngaben massal di Desa Pakraman Pesedahan Manggis, hingga kini masih lestari dilaksanakan oleh krama Banjar di tempat pemondokan sawa. Saat pelaksanaan tradisi Ngunya pada pengabenan tahun ini dilakukan (26-7-09) di Balai Banjar Kanginan yang digunakan sebagai tempat mondok kelmpok warga yang melaksanakan upacara pengabenan. Pengabenan Prenawa yang dilaksanakan dengan kegotong-royongan krama Banjar, menjadwalkan pelaksanaan upacara Ngunya sebanyak 2 kali yakni saat upacara Ngaskara (26-7-09) dan H-1 upacara ngaben (27-7-09).

Tradisi Ngunya merupakan tradisi warisan nenek moyang ditujukan untuk memberikan kesempatan terakhir bagi krama Banjar untuk memaafkan sang pitra jika ada kesalahan / kekeliruan yang diperbuat terhadap krama dan belum dimaafkan higga dibawa mati. Sedangkan bagi pratisentana yang ngarepang ngaben (sane meduwe sawa) saat Ngunya berlangsung tidak boleh tidak menyapa krama Banjar yang datang, sehingga secara manusiawi dikandung makna tidak boleh ada permusuhan diantara krama, baik saat ngertiyang yadnya sang pitra maupun setelah upacara ngaben. Pada saat pelaksanaan ngaben maupun acara Ngunya ditetapkan aturan ketat antara lain tidak boleh tidak menyapa krama Banjar, tidak boleh mengangkat lutut saat duduk di banjar, tidak boleh metodtodan / memegang tampul banjar saat berdiri di banjar, harus berbusana adat mesaput, umpal, kamben baju dan udeng (destar), tidak boleh berbicara caah-cauh (ngacuh) di Banjar.

Menurut Kelian Banjar Kanginan Drs. I Ketut Artana, dresta aturan atau awig banjar yang mengatur tatakrama saat pelaksanaan upacara Ngaben, hingga kini masih hidup dan ditaati krama walaupun tidak tertulis. Secara turun-temurun aturan tersebut diyakini dan ditaati sebagai norma etika dan disiplin krama dalam melaksanakan upacara Pitra Yadnya. Jika ada krama yang melanggar dikenakan dedosan sesuai bobot pelanggarannya disepakati dan ditetapkan sesuai hasil perarem. Namun dalam praktek pelaksanaanya tidak ada krama yang kena dedosan kendatipun krama sangat tunduk dengan aturan tersebut.

Penglingsir Desa Pesedahan I Nengah Sariati menyebutkan, dimasa lalu tradisi Ngunya maupu Ngaben berlangsung sangat tertib dan khusuk. Tidak ada krama yang berani piwal/tempal atau melanggar aturan Banjar sehingga pelaksanaan upacara Ngben massal yang dilaksanakan setiap Sasih Karo saban tahun berlangsung dengan lancar. Menurut Sariati, Ngunya itu sediri merupakan wujud silaturahmi antara krama Banjar salig memaafkan dalam arti sebenarnya, menghilangkan rasa permusuhan, dengki, iri dan segala sifat-sifat Asuri Sampat lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk mendoakan arwah pitra agar dapat menempuh jalan ke sunia loka tanpa halangan sesuai amal bakti – karma sanyasa-nya di dunia sekala.

Dalam tradisi Ngunya didahului suaran kulkul banjar disusul sang meduwe karya (pengarep) menyajikan sanganan (kue khas Bali) seperti Kuskus putih, jaje Uli Barak dan Putih, Jaje Abug, Tape, Kelepon dan delapan buah pisang Saba diatur dua biji pada 4 arah menghadap keluar. Penyajian sanganan diatur sedemikian rupa menurut 4 arah mata angin yang akan disantap 4 orang krama dalam satu sele /kelompok Mesanganan. Sebelum Mesanganan Saye Arah Banjat melakukan absensi (Nyacak Krama) Kelian Banjar nangiang atur indik pemargi Mesanganan lan eed ayah-ayah pemargi pengabenan, dilanjutkan atur-pramasuksma lan penyangaskara atur atas keberadaan sang pitra dari wakil krama ngarep ngaben, kepada krama banjar sekaligus mempersilahkan Mesangaan, diawali ngiderang pewacikan (tempat cuci tangan). Dalam suasana Nyacak Krama semua anggota Banjar wajib hadir baik yang dirantau maupun pengayah aktif serta roban banjar (STT Banjar). Hal ini mengandung makna, kesempatan Ngunya setiap tahun saat pengabean diharapkan ada silaturahmi saling berkomunikasi antar krama yang dapat mempertebal kekarabatan penyambrayaan dikalangan internal krama banjar.







RITUS BUDAYA MAHKOTA KEMBALI DIGELAR


Ritus Budaya Mahkota yang diprakasai budayawan Ida Wayan Oka Granoka, kembali digelar dengan mengagendakan 4 ritus yakni Parum Param, Prabaswara, Alokabhasa dan Lingacalaprabha. Menurut sang empunya acara Oka Granoka saat melakukan kordinasi lapangan di Desa Tua Tenganan Pagringsingan (22-7-09) menyebut, tahun ini ritus budaya mahkota mengambil thema esensi mahawindhu kebudayaan abad 21 dengan representasi puncak tujuh abad bineka tunggal ika.
Hal tersebut terkait dengan menyongsong peringatan 64 tahun Hut Kemerdekaan RI 17 Agustus 2009 yang perlu dibangkitkan aura nilainya dalam wujud pencitraan emas mahkota Indonesia merdeka Mahardika. Untuk prosesi itu serangkaian ritus dicanangkan yakni Parum Param berupa gelar dialog pembangkitan roh murni bangsa di Pendopo Puri Klungkung 31 Juli lalu, dilanjutkan ritus Prabhaswara yakni pencerahan murni menyongsong matahari terbit yang mengambil lokasi di Pertigaan Trinadi Desa Adistana Budakeling pada tanggal 1 Agustus 2009.
Rangkaian ritus Prabhaswara dilanjutkan dengan Alokabhasa yakni pencerahan penuh, kulminasi tengah hari dilokasi Padma Mandala Desa Kuno Tenganan Pagringsingan pada siang hari 1 Agustus 2009 serta keesokan harinya disusul ritus Lingacalaprabha yakni melangsungkan acara napak tilas mendaki bukit, menyongsong matahari terbit di puncak bukit Bada-Budu Desa Kuna Tenganan Pagringsingan pada Minggu pagi 2 Agustus 2009.
Prosesi upacara di lokasi desa tua Tenganan akan dimeriahkan dengan pawai – peed sejumlah simbol dan panji-panji serta iringan gamelang khusus 200 alat tabuh Ceng-Ceng yang diusung pendukung acara dari Jalan Raya Candidasa – Tenganan menuju Desa Tua Tenganan Pagringsingan.






Grebeg Aksara Emas Mahkota Bertepatan Saraswati

Kebangkitan energi semesta dari kemurnian desa tua dalam menyongsong masa depan untuk menjadikan desa tua sebagai mata air pembelajaran, setelah 7 abad pasca puncak kebagkita masa kejayaan Majapahit. Kini di era milenium 7 abad kedua yakni abad 21 puncak keemasan mahkota sastra diperingati tepat pada perayaan Saraswati dipusatkan di Desa Adistana Budakeling da Desa Tua Tenganan Pagringsingan.

Menurut pemrakarsa acara Drs. Ida Wayan Oka Granoka saat dikonfirmasi (28/7) mengatakan, makna hakekat pelaksanaan rangkaian grebeg aksara yang diisi dengan rangkaian ritus untuk membangkitkan efek rekonsiliasi nasional Parba Jagat Raya Nusantara. Tahun 2009 ini dilaksanakan prosesi Prabhaswara dilanjutkan dengan Alokabhasa yakni pencerahan penuh, kulminasi tengah hari dilokasi Padma Mandala Desa Kuno Tenganan Pagringsingan pada siang hari 1 Agustus 2009 serta keesokan harinya disusul ritus Lingacalaprabha yakni melangsungkan acara napak tilas mendaki bukit, menyongsong matahari terbit di puncak bukit Bada-Budu Desa Kuna Tenganan Pagringsingan pada Minggu pagi 2 Agustus 2009.

Semantara tujuan yang hendak dicapai adalah membangkitkan kemurnian snergi semesta, belajar dari kemurnian desa tua, untuk menyongsong masa depan yang kini terangkat dalan dialog komunikasi global. Aksara emas mahkota yang dijunjung tinggi dalam simbol Saraswati sumber keagungan sastra, untuk mempertemukan menyatunya ilmu pengetahua barat dan timur. Acara tersebut, juga dihadiri para pencinta dan penggemar budaya nusantara para spiritual dari pelbagai daerah yang memiliki sejarah kejayaan kerajaan masa lalu di beberapa daerah di Jawa seperti Pasundan, Jakarta, Bekasi dsb.

Kabid Seni Budaya Disbudpar Karangasem Ida Ayu Agung Emawati menyatakan dukungannya untuk kelancaran dan kesuksesan acara ritus budaya mahkota tahun 2009. Menurutnya fokus kegiatan di Desa Tua Tenganan sesungguhnya memang ada bisama dari leluhur khususnya Dang Hyang Astapaka pendiri cikal bakal Desa Budakeling yang terkait erat dengan Desa Tenganan. Implementasi selanjutnya setelah acara ritus digelar adalah tumbuhnya pasraman di desa-desa sebagai wahana pembelajaran agama, adat, seni budaya, kesenian sakral maupun menempa moralitas generasi muda.

Acara akan diawali di Desa Adistana Budakeling tanggal 1 Agustus 2009 pagi hari dilepas Bupati Karangasem, selanjutnya rombongan kendaraan menuju ke Tenganan Pagringsingan, dengan start pawai dari Pertigaa Tauman berjala menuju Wantilan Desa Tenganan, diiringi Tabuh Ceng-ceng gebogan, Pasraman berbagai desa dan massa pendukung acara yang datang dengan kesadaran sendiri. Di wantilan acara ceremonial diisi dengan rangkaian ritus budaya hingga eaktu menyogsong matahari terbit di Bukit Bada-Budu pada pagi hari melalui napak tilas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar